BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia kini telah masuk
kembali kepada bentuk peradaban jaman jahiliyah. Banyak sekali terjadi
kasus-kasus kejahatan sosial di negeri ini identik dengan kasus-kasus yang
terjadi pada jaman jahiliyah.
Jahiliyah adalah suatu bentuk
kehidupan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah saw. Kondisi bangsa Arab
pada jaman itu berada dalam kekacauan yang luar biasa. Mereka
menyekutukan Allah, banyak berbuat maksiat, perbudakan, tidak memiliki norma,
percaya kepada khurafat, dan berbagai bentuk kebobrokan moral lainnya.
Jahiliyah (bahasa Arab: جاهلية,
Jāhilīyyah) adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa dimana
penduduk Mekkah berada dalam ketidaktahuan (kebodohan). Akar istilah jahiliyyah
adalah bentuk kata kerja I pada kata jahala, yang memiliki arti menjadi bodoh,
bodoh, bersikap dengan bodoh atau tidak peduli.
Salah satu contoh kejahatan
jahiliyah yang terjaadi saat ini adalah kasus perbudakan di Kampung Bayur Opak,
Desa Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang, Banten yang juga diduga telah melibatkan
anggota Brimob dan TNI.
Atas kasus perbudakan ini Wakil
Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon angkat bicara : “Kasus penyekapan dan
penyiksaan puluhan buruh Pabrik Kuali di Tangerang, Banten, bisa juga terjadi
di tempat lain. Kasus Tangerang menunjukkan bahwa perbudakan modern masih terus
berlangsung. Kami yakin, ini fenomena puncak gunung es. Perbudakan lain juga
masih banyak terjadi."
Sedangkan politikus Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Indra, juga angkat bicara : “Menurut saya tanpa beking,
rasanya kasus ini harusnya sudah terungkap sejak jauh-jauh hari. Aksi
penyekapan dan penyiksaan merupakan tindakan biadab.”
Lebih lanjut lagi, Indra angkat
bicara : “Pelaku bisa dikenakan pasal berlapis yaitu Pasal 333 KUHP tentang
perampasan kemerdekaan orang, Pasal 351 tentang penganiayaan, dan Pasal 336
tentang melakukan ancaman. Kasus tersebut merupakan bukti nyata lalainya negara
dalam memberikan perlindungan kepada para buruh. Jika Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dan dinas tenaga kerja tidak lalai dalam menjalankan tugasnya
terutama dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan seperti yang diamanahkan UU
Nomor 13 Tahun 2003, maka perbudakan seperti itu tidak akan terjadi.
Setidak-tidaknya dapat dideteksi secara dini. Waktu penyekapan tiga bulan
merupakan waktu yang cukup panjang. Jadi para pengawas ketenagakerjaan pada
kemana dan ngapain saja selama ini?."
Menanggapi isu lemahnya pengawasan
ketenagakerjaan di kota Tangerang, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten
Tangerang Heri Heryanto angkat bicara : "Masalah ini seperti bola salju,
tidak menutup kemungkinan ada kasus serupa dan lainnya." Sistem pengawasan
di Kabupaten Tangerang saat ini masih longgar. Tenaga pengawas Kabupaten
Tangerang saat ini masih minim.”
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perbudakan?
2. Bagaimana perbudakan menurut pandangan Islam?
3. Apakah perbudakan akan dihapuskan?
3. Apakah perbudakan akan dihapuskan?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui sejarah perbudakan.
2. Mengetahui hokum-hukum perbudakan menurut pandangan Islam.
3. Lebih peka terhadap kasus-kasus perbudakan yang ada di
masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perbudakan
Ketika Islam datang, perbudakan
telah menjadi suatu sistem yang diakui di seluruh dunia. Bahkan ia merupakan
bagian dari kegiatan ekonomi dan sosial yang terus berkembang tampa ada seorang
pun berfikir untuk merombaknya.
Sejak kapan mulai adanya budak dan sistem perbudakan, tidak ada
satu keterangan pun yang dapat memastikannya. Yang jelas usia perbudakan
mungkin sudah se-tua umur peradaban manusia itu sendiri. Bahkan di masa
Nabi Yusuf as , hukum yang diberlakukan bagi pencuri ialah
dengan jalan memperbudaknya.
Di dalam encyclopedia sejarah
berjudul Sejarah Dunia, pada halaman 2273 di sebutkan : Pada tahun
599 M , Kaisar Romawi, Mauris menolak-karena pertimbangan ekonomi-untuk menebus
beberapa ribu tawanan perang yang jatuh di tangan Khan Awar ( musuh kaisar
)-yang berarti merelakan para tawanan perang itu untuk diperbudak atau dibunuh.
Dan akhirnya Khan Awar membunuh seluruh tawanan tersebut.
Telah hapuskah perbudakan di muka
bumi ini ? Sebagian kita mungkin akan menjawabnya sudah. Bukankah sudah ada
revolusi perancis yang telah menghapuskan perbudakan di Eropa, ada
Abraham.Lincoln yang menghapuskan perbudakan di Amerika, dan dengan
adanya Declaration of Human Right ( HAM ) - dunia sepakat
untuk menghapuskan perbudakan. Memang benar semua itu telah terjadi. Tetapi
kita juga melihat fakta bahwa perbudakan hanya mengalamimetamorfosis-perubahan
bentuk ! Intinya perbudakan tetap terjadi walau dengan wajahnya yang baru. Hal
ini dikarenakan filosofi dan inti politik luar negri negara-negara Barat dan AS
adalah penjajahan ( isti'mar ). Dan penjajahan ( imperialisme
) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ideologi Kapitalisme yang selama
ini dianut sebagian besar negara-negara Barat dan AS. Yang berubah-ubah
hanyalah cara yang ditempuh dan sarananya saja. Hakikatnya tetaplah sama
-penjajahan- mengekspoitir manusia atas manusia lain, atau dengan kata lain penjajahan
di definisikan sebagai dominasi politik, militer, kebudayaan dan ekonomi atas
bangsa-bangsa yang dikalahkan untuk mengekploitasi mereka. Artinya nafsu
menjajah dan memperbudak belumlah hilang dari muka bumi ini.
Sebagai kenyataannya kita bisa
melihat bahwa 85 % luas bumi telah dikuasai oleh Barat dalam bentuk koloni,
protektorat, tanah jajahan, dominion dan persemakmuran.
Meskipun mulai paruh abad 20 banyak negara-negara jajahan Barat
merdeka, tapi dominasi dan hegemoni Barat telah terlampau kuat melekat sehingga
tetap mempengaruhi dan menentukan setiap tindakan politik dalam dan luar negri
mereka.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap
HAM masih terus berlangsung. Tercatat terjadi 4.080 pelanggaran HAM , yang
meliputi, 1.902 pelanggaran terhadap buruh, 245 atas tanah, 345 atas hak-hak
sipil dan politik dan 1.488 pelanggaran terhadap hak-hak konsumen.
Dalam tulisan ini, maka yang
menjadi fokus adalah bagaimana sikap Islam terhadap budak dan perbudakan. Lalu
kecenderungan munculnya perbudakan dalam bentuknya yang lain-para buruh-di era
ekonomi dan bisnis ini. Sudah dijelaskan sebelumnya, perbudakan bisa terjadi
lantaran beberapa hal-yang khas ditemui pada sistem sosial tertentu. Orang yang
menanggung hutang yang besar, lalu tidak mampu membayarnya, maka ia bisa
dijadikan budak oleh tuannya. Atau lantaran seseorang berbuat kejahatan semisal
pencurian dan pembunuhan, maka hukumnya dia bisa diperbudak. Atau nafsu
memperbudak manusia, atau karena suatu kaum atau bangsa kalah perang lalu
ditawan dan dijadikan budak. Semua ini telah terjadi pada masa-masa terdahulu.
2.2 Perbudakan
Dalam Pandangan Islam
Ajaran
Islam menghargai aspek kemanusiaan, yang diisyaratkan bahwa manusia, apapun
jenis kelamin, ras, etnis, statuas sosial dam ekonomi adalah mahlu yang
sederajat dhadapan Tuhan. Oleh karena itu terdapat beberapa prinsip Islam dalam
memperlakukan budak:
1. Berbuat baik terhadap budak/hamba sahaya harus dilakukan sebagaimana bernuat baik terhadap kedua orang
tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh
(QS.4:36). Dengan demikian, islam mengangkat harkat dan martabat budak pada
pisisi yang demikian mulia dan tinggi.
2. Rasulullah melarang memanggil budak dengan ungkapanyang menghina
dan kata yang mengandung konotasi budak, seperti: hai budakku, hai hambaku,
tetapi ia harus memanggil dengan sebutan: hai pemudaku, hai remajaku (HR.
Muslim).
3. Makanan pakaian dan tempat tinggal yang
digunakan budak sama dengan yang digunakan tuannya. Berdasarkana hadis
Rasulullah: “Budak adalah para pembantu dan saudaramu yang dijadikan alah
berada di bawah pengawasanmu, berila makan seperti yangkamu makan, pakaian yang
kamu pakai dan jangan sekali-kali memberi mereka tugas yang tidak mampu
dipikulnya agar mereka merasa senang (HR a.l-Bukhari).
4. Larangan menyakiti budak, berdasarkan
hadis: “siapa yang menampar (menganiaya)
budaknya, maka ia wajib memerdekakannya (HR. Ahmad).
5. Anjuran
untuk mengajari, mendidik dan mengawinkannya (HR. Abu Dawud).
Dengan
demikian Islam menganjurlan agar kita menghargai hak, mengasihi, menolong,
membebaskan, dan berlaku adil kepada orang lain. Di samping itu, Allah
memerintahkan kita untuk memerdekakan budak (fakk raqabah). Allah memerintahkan
kita berjuang untuk merubah nasib agar lebih baik. Allah juga berjanji akan memberikan
balasan terhadap apa yang dikerjakan oleh manusia. Kita diijinkan berjihad
untuk melawan penindasan. Kata Allah,
manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik, tetapi akan turun ke derajat yang
paling rendah apa bila tidak beriman dan amal saleh.
Demikian
juga, kalau kita lihat hadis-hadis Nabi akan lebih jelas bahwa Islam
menghendaki terwujudnya masyarakat yang egaliter. Kata Nabi, sesungguhnya
manusia itu seperti gerigi sisir, yakni semua sama dalam derajatnya. Dalam
khutbah wada’ yang sangat terkenal itu, Nabi menyerukan kepada kaum muslimin
untuk memberikan hak setiap orang. Keadilan harus ditegakkan, dan jangan sampai
ada kedlaliman di antara sesama manusia. Nabi juga menyatakan bahwa darah dan
harta seseorang harus dilindungi, jangan sampai ada yang mengganngu.
Dalam
pengertian seperti itu, maka sesungguhnya jual-beli manusia tidaklah
diperbolehkan. Manusia tidak boleh dijadikan komoditas perdagangan. Dalam
jual-beli manusia, tidak ada jaminan kebebasan. Seseorang bisa dijual oleh
pemiliknya tanpa persetujuan dirinya sendiri, dan dia tidak punya hak untuk
menolak jual beli itu. Ini sangat ditentang oleh Islam. Dalam gambaran
masyarakat yang ideal tidak ada tempat bagi praktek perbudakan seperti itu.
Kalau
kita fahami secara teliti, sesungguhnya Islam adalah agama egaliter yang
antiperbudakan karena tidak sesuai dengan fitrah yang diberikan Allah kepada
manusia. Islam tidak secara drastis dan serta-merta menghapuskan perbudakan
karena akan berdampak negatif. Ini karena tradisi perbudakan telah berlangsung
sejak berabad-abad lamanya, sehingga budak-budak itu belum siap untuk serta
merta dimerdekakan. Mereka belum terbiasa mandiri dan tidak memiliki resources
yang cukup untuk mandiri. Sehingga Nabi mengambil tiga langkah: pertama,
mempersempit pintu rekruitmen budak-budak baru; kedua, membuka pintu
seluas-luasnya bagi pemerdekaan budak; ketiga, menuntut perlakuan yang
manusiawi terhadap budak-budak yang ada, sebagaimana diisyaratkan di dalam
beberapa teks al-Qur’an maupun al-Hadits di atas.
Mengacu
kepada lima prinsip di atas, berarti bahwa Islam sangat menghargai kemanusiaan
setiap orang, dan karenanya Islam memiliki langkah-langkah untuk menghapus
perbudakan sebagai berikut: a) Memerdekakan budak, yang hal ini membawa
pelakuknya mendapat balasan kebaikan dari Tuhan; b) Menetapkan sangsi berbagai
pelanggaran hukum dengan memerdekakanbudak, seperti sanksi sumpah palsu,
pembunuhan tidak sengaja, dan dzihar; c) Memerintahkan majikan agar memberikan kesempatan kepada budak untuk
memerdekakan diri (mukatabah) yang karenanya budak berhak mendapatkan zakat
sebagai uasaha memerdekakan dirinya dan tidak memiliki ketergantungan ekonomis
dengantuannya; d) Melaksanakan nazar
dengan memerdekakan budak.
Dengan
pemahaman ini, maka dalam sebuah masyarakat tanpa budak seperti kehidupan kita
sekarang, seharusnya tidak boleh ditumbuhkan sistem perbudakan baru. Masyarakat
harus tetap berproses ke arah egalitarianisme. Sedang masyarakat yang telah
memiliki sistem perbudakan, maka harus juga berproses ke arah penghapusannya.
Sayangnya, dalam satu generasi setelah Nabi, masyarakat egaliter tidak
berproses ke arah yang lebih jelas, tetapi bahkan sebaliknya. Sistem perbudakan
juga semakin kuat.
Dalam
sejarah Islam abad klasik maupun pertengahan,
terdapat lembaga harem yang menjadi fenomena penting dalam sejarah
istana penguasa-penguasa Islam, seperti Mamluk dan Ustmaniyyah. Di samping para
penguasa Islam itu memiliki isteri yang berjumlah maksimal empat orang, mereka
juga memiliki harem, yakni budak perempuan yang jumlahnya tidak terbatas.
Menurut sejarah, para harem itu hidup secara terpisah dari masyarakat luas dan
terpisah dari kaum lelaki agar tidak timbul perzinaan. Pula, untuk menjaga
kehormatan mereka diangkatlah penjaga berkelamin lelaki tapi sudah dikebiri
agar tidak terjadi perselingkuhan.
Fenomena
itu tidak hanya terjadi di kalangan istana, tetapi juga di kalangan kelas atas
(a’yan) masyarakat Islam. Dengan
demikian, sepanjang abad-abad klasik dan pertengahan bahkan hingga sekarang,
proses ke arah masyarakat egaliter itu tidak berjalan secara sistematis seperti
yang dikehendaki oleh Islam. Hal ini,
menjadi komitmen kita semua bahwa perbudakan dalam bentuknya yang baru,
trafficking harus diupayakan
diminimalisir adanya dengan cara memberikan pemahaman kepada semua level
masyarakat bahwa perbudakan dalam bentuk baru yang mengebiti kebebasan dan
mencabik-cabik harkat manusia sedang berlangsung. Untuk itu, tameng keluarga
dan peran oganisasi sangat besar bagi penyadaran dan pemberdayaan masyarakat,
tidak saja secara ekonomis tetapi juga secara intelektual, sehingga tidak mudak
tertipu oleh praktik-praktik yang sesungguhnya merugikan kemanusiaan kita.
2.3 Menuju Pembebasan
dan Penghapusan Perbudakan
Sekalipun perbudakan telah
dinyatakan illegal di seluruh dunia karena bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan, neo-perbudakan tidak serta-merta hilang. Di Amerika Serikat,
misalnya, sekalipun perbudakan telah dihapuskan bersamaan dengan berakhirnya
perang saudara, diskriminasi tetap berlangsung. Kemudian, setelah lahirnya gerakan
hak-hak sipil pada tahun 1960an dikeluarkanlah undang-undang anti-diskriminasi
dan kemudian diikuti dengan affirmative action yang menjamin representasi
minoritas dalam lembaga-lembaga publik. Namun demikian, kesadaran warna kulit
masih sering menjadi faktor yang menentukan dalam hubungan sosial sampai saat
ini. Di negera-negara Arab, demikian juga, perbudakan telah dihapuskan. Tetapi
sifat relasi budak-tuan tidak jarang masih mewarnai hubungan individual,
seperti yang terjadi antara buruh-majikan. Seorang buruh atau pekerja rumah
tangga, misalnya, seringkali dipandang sebagai seorang budak yang tidak
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan. Di Indonesia, praktek-praktek
trafficking pada hakekatnya adalah rekruitmen perbudakan dalam bentuknya yang paling
konvensional. Seorang dibeli dari orang lain atau ditangkap kemudian dijual
kepada orang lain atau melakukan jenis pekerjaan tertentu di luar
kesepatakan-kesepakatan sebelumnya secara suka rela.
Dalam perspektif agama, trafficking
sudah cukup jelas bahwa ia bertentangan dengan moral Islam. Sekalipun dalam
fiqh klasik hukum perbudakan, termasuk trafficking, dipandang boleh karena
memiliki alasan-alasan tekstual dari al-Qur’an atau Hadis, tetapi moral Islam
sesungguhnya menyatakan bahwa itu adalah suatu perbuatan yang tidak terpuji dan
karenanya harus dihapuskan. Praktek trafficking juga berarti menjauhkan
masyarakat kita dari cita-cita Islam, yaitu terwujudnya masyarakat egaliter. Bukankah derajat dan
nilai kita di mata Tuhan tidak ditentukan oleh jenis kelamin maupun status
sosial, namun ditentukan oleh amaliah positif yang kita kontribusikan bagi
kemanusiaan???
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kini tiba saatnya
bagi seluruh umat manusia untuk melawan segala praktek perbudakan dalam segala
bentuknya; bahkan jika ia bersembunyi dalam jubah suatu golongan agama.
Terutama untuk umat Islam—demi kemuliaan Muhammad—harus mencoba menghapus
lembar hitam dalam sejarah mereka. Lembar sejarah ini tak akan ditulis kecuali
karena bertentangan dengan semangat hukum Islam, betapapun
cemerlangnya lembar-lembar itu selain risalah-risalah kuno yang merekam
perbuatan mengerikan penganut agama lain. Kini tiba saatnya, tatkala
suara-suara yang menyeru pada kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan universal
di antara umat manusia harus didengar dengan pemahaman baru yang diperoleh dari
penghayatan spiritual selama empat belas abad. Kini, tugas kaum Muslimin untuk
menunjukkan kepalsuan fitnahan yang dilontarkan orang terhadap kemuliaan
Muhammad, dengan menyatakan secara tegas bahwa perbudakan yang dicela oleh
agama mereka, juga ditolak oleh hukum Islam.
3.2 Saran
Sebagai umat muslim dan kaum
intelektual seharusnya kita mendukung upaya-upaya
dalam menghapus perbudakan yang nyatanya masih terjadi di kalangan masyarakat
baik di Indonesia maupun di luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
The Spirit of Islam Syed Ameer
Ali, Syed. 2011. The Spirit of
Islam. Yogyakarta: NAVILA
tudeayot.blogspot.com/2013/05/perbudakan-ala-jahiliyah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar