Sabtu, 20 Juli 2013

Makalah Perbudakan



BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Bangsa Indonesia kini telah masuk kembali kepada bentuk peradaban jaman jahiliyah. Banyak sekali terjadi kasus-kasus kejahatan sosial di negeri ini identik dengan kasus-kasus yang terjadi pada jaman jahiliyah.  
Jahiliyah adalah suatu bentuk kehidupan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah saw. Kondisi bangsa Arab  pada jaman itu  berada dalam kekacauan yang luar biasa. Mereka menyekutukan Allah, banyak berbuat maksiat, perbudakan, tidak memiliki norma, percaya kepada khurafat, dan berbagai bentuk kebobrokan moral lainnya.
Jahiliyah (bahasa Arab: جاهلية, Jāhilīyyah) adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa dimana penduduk Mekkah berada dalam ketidaktahuan (kebodohan). Akar istilah jahiliyyah adalah bentuk kata kerja I pada kata jahala, yang memiliki arti menjadi bodoh, bodoh, bersikap dengan bodoh atau tidak peduli.
Salah satu contoh kejahatan jahiliyah yang terjaadi saat ini adalah kasus perbudakan di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang, Banten yang juga diduga telah melibatkan anggota Brimob dan TNI.
Atas kasus perbudakan ini Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon angkat bicara : “Kasus penyekapan dan penyiksaan puluhan buruh Pabrik Kuali di Tangerang, Banten, bisa juga terjadi di tempat lain. Kasus Tangerang menunjukkan bahwa perbudakan modern masih terus berlangsung. Kami yakin, ini fenomena puncak gunung es. Perbudakan lain juga masih banyak terjadi."
Sedangkan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Indra, juga angkat bicara : “Menurut saya tanpa beking, rasanya kasus ini harusnya sudah terungkap sejak jauh-jauh hari. Aksi penyekapan dan penyiksaan merupakan tindakan biadab.”
Lebih lanjut lagi, Indra angkat bicara : “Pelaku bisa dikenakan pasal berlapis yaitu Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan orang, Pasal 351 tentang penganiayaan, dan Pasal 336 tentang melakukan ancaman. Kasus tersebut merupakan bukti nyata lalainya negara dalam memberikan perlindungan kepada para buruh. Jika Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan dinas tenaga kerja tidak lalai dalam menjalankan tugasnya terutama dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan seperti yang diamanahkan UU Nomor 13 Tahun 2003, maka perbudakan seperti itu tidak akan terjadi. Setidak-tidaknya dapat dideteksi secara dini. Waktu penyekapan tiga bulan merupakan waktu yang cukup panjang. Jadi para pengawas ketenagakerjaan pada kemana dan ngapain saja selama ini?."
Menanggapi isu lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di kota Tangerang, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang Heri Heryanto angkat bicara : "Masalah ini seperti bola salju, tidak menutup kemungkinan ada kasus serupa dan lainnya." Sistem pengawasan di Kabupaten Tangerang saat ini masih longgar. Tenaga pengawas Kabupaten Tangerang saat ini masih minim.”

1.2       Rumusan Masalah   
1. Bagaimana sejarah perbudakan?
2. Bagaimana perbudakan menurut pandangan Islam?
3. Apakah perbudakan akan dihapuskan? 

1.3       Tujuan
1. Mengetahui sejarah perbudakan.
2. Mengetahui hokum-hukum perbudakan menurut pandangan Islam.
3. Lebih peka terhadap kasus-kasus perbudakan yang ada di masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Sejarah Perbudakan
Ketika Islam datang, perbudakan telah menjadi suatu sistem yang diakui di seluruh dunia. Bahkan ia merupakan bagian dari kegiatan ekonomi dan sosial yang terus berkembang tampa ada seorang pun berfikir untuk merombaknya.
Sejak kapan mulai adanya budak dan sistem perbudakan, tidak ada satu keterangan pun yang dapat memastikannya. Yang jelas usia perbudakan mungkin sudah se-tua umur peradaban manusia itu sendiri. Bahkan di masa Nabi Yusuf as , hukum yang diberlakukan bagi pencuri ialah dengan jalan memperbudaknya.
Di dalam encyclopedia sejarah berjudul Sejarah Dunia, pada halaman 2273 di sebutkan : Pada tahun 599 M , Kaisar Romawi, Mauris menolak-karena pertimbangan ekonomi-untuk menebus beberapa ribu tawanan perang yang jatuh di tangan Khan Awar ( musuh kaisar )-yang berarti merelakan para tawanan perang itu untuk diperbudak atau dibunuh. Dan akhirnya Khan Awar membunuh seluruh tawanan tersebut.
Telah hapuskah perbudakan di muka bumi ini ? Sebagian kita mungkin akan menjawabnya sudah. Bukankah sudah ada revolusi perancis yang telah menghapuskan perbudakan di Eropa, ada Abraham.Lincoln yang menghapuskan perbudakan di Amerika, dan dengan adanya Declaration of Human Right ( HAM ) - dunia sepakat untuk menghapuskan perbudakan. Memang benar semua itu telah terjadi. Tetapi kita juga melihat fakta bahwa perbudakan hanya mengalamimetamorfosis-perubahan bentuk ! Intinya perbudakan tetap terjadi walau dengan wajahnya yang baru. Hal ini dikarenakan filosofi dan inti politik luar negri negara-negara Barat dan AS adalah penjajahan ( isti'mar ). Dan penjajahan ( imperialisme ) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ideologi Kapitalisme yang selama ini dianut sebagian besar negara-negara Barat dan AS. Yang berubah-ubah hanyalah cara yang ditempuh dan sarananya saja. Hakikatnya tetaplah sama -penjajahan- mengekspoitir manusia atas manusia lain, atau dengan kata lain penjajahan di definisikan sebagai dominasi politik, militer, kebudayaan dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikalahkan untuk mengekploitasi mereka. Artinya nafsu menjajah dan memperbudak belumlah hilang dari muka bumi ini.
Sebagai kenyataannya kita bisa melihat bahwa 85 % luas bumi telah dikuasai oleh Barat dalam bentuk koloni, protektorat, tanah jajahan, dominion dan persemakmuran.
Meskipun mulai paruh abad 20 banyak negara-negara jajahan Barat merdeka, tapi dominasi dan hegemoni Barat telah terlampau kuat melekat sehingga tetap mempengaruhi dan menentukan setiap tindakan politik dalam dan luar negri mereka.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM masih terus berlangsung. Tercatat terjadi 4.080 pelanggaran HAM , yang meliputi, 1.902 pelanggaran terhadap buruh, 245 atas tanah, 345 atas hak-hak sipil dan politik dan 1.488 pelanggaran terhadap hak-hak konsumen.
Dalam tulisan ini, maka yang menjadi fokus adalah bagaimana sikap Islam terhadap budak dan perbudakan. Lalu kecenderungan munculnya perbudakan dalam bentuknya yang lain-para buruh-di era ekonomi dan bisnis ini. Sudah dijelaskan sebelumnya, perbudakan bisa terjadi lantaran beberapa hal-yang khas ditemui pada sistem sosial tertentu. Orang yang menanggung hutang yang besar, lalu tidak mampu membayarnya, maka ia bisa dijadikan budak oleh tuannya. Atau lantaran seseorang berbuat kejahatan semisal pencurian dan pembunuhan, maka hukumnya dia bisa diperbudak. Atau nafsu memperbudak manusia, atau karena suatu kaum atau bangsa kalah perang lalu ditawan dan dijadikan budak. Semua ini telah terjadi pada masa-masa terdahulu.

2.2       Perbudakan Dalam Pandangan Islam
Ajaran Islam menghargai aspek kemanusiaan, yang diisyaratkan bahwa manusia, apapun jenis kelamin, ras, etnis, statuas sosial dam ekonomi adalah mahlu yang sederajat dhadapan Tuhan. Oleh karena itu terdapat beberapa prinsip Islam dalam memperlakukan budak:
1.  Berbuat baik terhadap budak/hamba sahaya  harus dilakukan  sebagaimana bernuat baik terhadap kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh (QS.4:36). Dengan demikian, islam mengangkat harkat dan martabat budak pada pisisi yang demikian mulia dan tinggi.
2.  Rasulullah melarang  memanggil budak dengan ungkapanyang menghina dan kata yang mengandung konotasi budak, seperti: hai budakku, hai hambaku, tetapi ia harus memanggil dengan sebutan: hai pemudaku, hai remajaku (HR. Muslim).
3.  Makanan pakaian dan tempat tinggal yang digunakan budak sama dengan yang digunakan tuannya. Berdasarkana hadis Rasulullah: “Budak adalah para pembantu dan saudaramu yang dijadikan alah berada di bawah pengawasanmu, berila makan seperti yangkamu makan, pakaian yang kamu pakai dan jangan sekali-kali memberi mereka tugas yang tidak mampu dipikulnya agar mereka merasa senang (HR a.l-Bukhari).
4.     Larangan menyakiti budak, berdasarkan hadis: “siapa yang  menampar (menganiaya) budaknya, maka ia wajib memerdekakannya (HR. Ahmad).
5.     Anjuran untuk mengajari, mendidik dan mengawinkannya (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian Islam menganjurlan agar kita menghargai hak, mengasihi, menolong, membebaskan, dan berlaku adil kepada orang lain. Di samping itu, Allah memerintahkan kita untuk memerdekakan budak (fakk raqabah). Allah memerintahkan kita berjuang untuk merubah nasib agar lebih baik. Allah juga berjanji akan memberikan balasan terhadap apa yang dikerjakan oleh manusia. Kita diijinkan berjihad untuk melawan penindasan.  Kata Allah, manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik, tetapi akan turun ke derajat yang paling rendah apa bila tidak beriman dan amal saleh.
Demikian juga, kalau kita lihat hadis-hadis Nabi akan lebih jelas bahwa Islam menghendaki terwujudnya masyarakat yang egaliter. Kata Nabi, sesungguhnya manusia itu seperti gerigi sisir, yakni semua sama dalam derajatnya. Dalam khutbah wada’ yang sangat terkenal itu, Nabi menyerukan kepada kaum muslimin untuk memberikan hak setiap orang. Keadilan harus ditegakkan, dan jangan sampai ada kedlaliman di antara sesama manusia. Nabi juga menyatakan bahwa darah dan harta seseorang harus dilindungi, jangan sampai ada yang mengganngu.
Dalam pengertian seperti itu, maka sesungguhnya jual-beli manusia tidaklah diperbolehkan. Manusia tidak boleh dijadikan komoditas perdagangan. Dalam jual-beli manusia, tidak ada jaminan kebebasan. Seseorang bisa dijual oleh pemiliknya tanpa persetujuan dirinya sendiri, dan dia tidak punya hak untuk menolak jual beli itu. Ini sangat ditentang oleh Islam. Dalam gambaran masyarakat yang ideal tidak ada tempat bagi praktek perbudakan seperti itu.
Kalau kita fahami secara teliti, sesungguhnya Islam adalah agama egaliter yang antiperbudakan karena tidak sesuai dengan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia. Islam tidak secara drastis dan serta-merta menghapuskan perbudakan karena akan berdampak negatif. Ini karena tradisi perbudakan telah berlangsung sejak berabad-abad lamanya, sehingga budak-budak itu belum siap untuk serta merta dimerdekakan. Mereka belum terbiasa mandiri dan tidak memiliki resources yang cukup untuk mandiri. Sehingga Nabi mengambil tiga langkah: pertama, mempersempit pintu rekruitmen budak-budak baru; kedua, membuka pintu seluas-luasnya bagi pemerdekaan budak; ketiga, menuntut perlakuan yang manusiawi terhadap budak-budak yang ada, sebagaimana diisyaratkan di dalam beberapa teks al-Qur’an maupun al-Hadits di atas.
Mengacu kepada lima prinsip di atas, berarti bahwa Islam sangat menghargai kemanusiaan setiap orang, dan karenanya Islam memiliki langkah-langkah untuk menghapus perbudakan sebagai berikut: a) Memerdekakan budak, yang hal ini membawa pelakuknya mendapat balasan kebaikan dari Tuhan; b) Menetapkan sangsi berbagai pelanggaran hukum dengan memerdekakanbudak, seperti sanksi sumpah palsu, pembunuhan tidak sengaja, dan dzihar; c) Memerintahkan majikan agar  memberikan kesempatan kepada budak untuk memerdekakan diri (mukatabah) yang karenanya budak berhak mendapatkan zakat sebagai uasaha memerdekakan dirinya dan tidak memiliki ketergantungan ekonomis dengantuannya; d)  Melaksanakan nazar dengan memerdekakan budak.
Dengan pemahaman ini, maka dalam sebuah masyarakat tanpa budak seperti kehidupan kita sekarang, seharusnya tidak boleh ditumbuhkan sistem perbudakan baru. Masyarakat harus tetap berproses ke arah egalitarianisme. Sedang masyarakat yang telah memiliki sistem perbudakan, maka harus juga berproses ke arah penghapusannya. Sayangnya, dalam satu generasi setelah Nabi, masyarakat egaliter tidak berproses ke arah yang lebih jelas, tetapi bahkan sebaliknya. Sistem perbudakan juga semakin kuat.
Dalam sejarah Islam abad klasik maupun pertengahan,  terdapat lembaga harem yang menjadi fenomena penting dalam sejarah istana penguasa-penguasa Islam, seperti Mamluk dan Ustmaniyyah. Di samping para penguasa Islam itu memiliki isteri yang berjumlah maksimal empat orang, mereka juga memiliki harem, yakni budak perempuan yang jumlahnya tidak terbatas. Menurut sejarah, para harem itu hidup secara terpisah dari masyarakat luas dan terpisah dari kaum lelaki agar tidak timbul perzinaan. Pula, untuk menjaga kehormatan mereka diangkatlah penjaga berkelamin lelaki tapi sudah dikebiri agar tidak terjadi perselingkuhan.
Fenomena itu tidak hanya terjadi di kalangan istana, tetapi juga di kalangan kelas atas (a’yan)  masyarakat Islam. Dengan demikian, sepanjang abad-abad klasik dan pertengahan bahkan hingga sekarang, proses ke arah masyarakat egaliter itu tidak berjalan secara sistematis seperti yang  dikehendaki oleh Islam. Hal ini, menjadi komitmen kita semua bahwa perbudakan dalam bentuknya yang baru, trafficking  harus diupayakan diminimalisir adanya dengan cara memberikan pemahaman kepada semua level masyarakat bahwa perbudakan dalam bentuk baru yang mengebiti kebebasan dan mencabik-cabik harkat manusia sedang berlangsung. Untuk itu, tameng keluarga dan peran oganisasi sangat besar bagi penyadaran dan pemberdayaan masyarakat, tidak saja secara ekonomis tetapi juga secara intelektual, sehingga tidak mudak tertipu oleh praktik-praktik yang sesungguhnya merugikan kemanusiaan kita.
2.3       Menuju Pembebasan dan Penghapusan Perbudakan
Sekalipun perbudakan telah dinyatakan illegal di seluruh dunia karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, neo-perbudakan tidak serta-merta hilang. Di Amerika Serikat, misalnya, sekalipun perbudakan telah dihapuskan bersamaan dengan berakhirnya perang saudara, diskriminasi tetap berlangsung. Kemudian, setelah lahirnya gerakan hak-hak sipil pada tahun 1960an dikeluarkanlah undang-undang anti-diskriminasi dan kemudian diikuti dengan affirmative action yang menjamin representasi minoritas dalam lembaga-lembaga publik. Namun demikian, kesadaran warna kulit masih sering menjadi faktor yang menentukan dalam hubungan sosial sampai saat ini. Di negera-negara Arab, demikian juga, perbudakan telah dihapuskan. Tetapi sifat relasi budak-tuan tidak jarang masih mewarnai hubungan individual, seperti yang terjadi antara buruh-majikan. Seorang buruh atau pekerja rumah tangga, misalnya, seringkali dipandang sebagai seorang budak yang tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan. Di Indonesia, praktek-praktek trafficking pada hakekatnya adalah rekruitmen perbudakan dalam bentuknya yang paling konvensional. Seorang dibeli dari orang lain atau ditangkap kemudian dijual kepada orang lain atau melakukan jenis pekerjaan tertentu di luar kesepatakan-kesepakatan sebelumnya secara suka rela.
Dalam perspektif agama, trafficking sudah cukup jelas bahwa ia bertentangan dengan moral Islam. Sekalipun dalam fiqh klasik hukum perbudakan, termasuk trafficking, dipandang boleh karena memiliki alasan-alasan tekstual dari al-Qur’an atau Hadis, tetapi moral Islam sesungguhnya menyatakan bahwa itu adalah suatu perbuatan yang tidak terpuji dan karenanya harus dihapuskan. Praktek trafficking juga berarti menjauhkan masyarakat kita dari cita-cita Islam, yaitu terwujudnya  masyarakat egaliter. Bukankah derajat dan nilai kita di mata Tuhan tidak ditentukan oleh jenis kelamin maupun status sosial, namun ditentukan oleh amaliah positif yang kita kontribusikan bagi kemanusiaan???






BAB III
PENUTUP

3.1       Simpulan
Kini tiba saatnya  bagi seluruh umat manusia untuk melawan segala praktek perbudakan dalam segala bentuknya; bahkan jika ia bersembunyi dalam jubah suatu golongan agama. Terutama untuk umat Islam—demi kemuliaan Muhammad—harus mencoba menghapus lembar hitam dalam sejarah mereka. Lembar sejarah ini tak akan ditulis kecuali karena bertentangan dengan semangat hukum Islam, betapapun cemerlangnya lembar-lembar itu selain risalah-risalah kuno yang merekam perbuatan mengerikan penganut agama lain. Kini tiba saatnya, tatkala suara-suara yang menyeru pada kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan universal di antara umat manusia harus didengar dengan pemahaman baru yang diperoleh dari penghayatan spiritual selama empat belas abad. Kini, tugas kaum Muslimin untuk menunjukkan kepalsuan fitnahan yang dilontarkan orang terhadap kemuliaan Muhammad, dengan menyatakan secara tegas bahwa perbudakan yang dicela oleh agama mereka, juga ditolak oleh hukum Islam.

3.2       Saran
            Sebagai umat muslim dan kaum intelektual seharusnya kita mendukung upaya-upaya dalam menghapus perbudakan yang nyatanya masih terjadi di kalangan masyarakat baik di Indonesia maupun di luar negeri.  








DAFTAR PUSTAKA

The Spirit of Islam Syed Ameer Ali, Syed. 2011. The Spirit of Islam. Yogyakarta: NAVILA
tudeayot.blogspot.com/2013/05/perbudakan-ala-jahiliyah.html






Tidak ada komentar:

Posting Komentar